Tangisan Seorang Anak Gaza di Antrian Makanan yang Tak Kunjung Datang
Di tengah reruntuhan Gaza yang telah lama kehilangan warna kehidupan, seorang anak kecil berdiri di ujung antrian panjang yang mengular di tempat distribusi makanan. Matanya basah, tubuhnya lelah, dan perutnya kosong.
Ia menangis bukan karena terjatuh, bukan karena mainannya rusak, tetapi karena lapar—lapar yang telah menjadi teman harian bagi ribuan anak Palestina di Jalur Gaza. Ia terlalu muda untuk memahami kenapa roti tak kunjung datang, kenapa dapur umum kehabisan bahan makanan, dan kenapa setiap hari ia harus bertahan hidup di bawah ancaman kelaparan yang disengaja.
Ini bukan kekurangan logistik biasa. Kelaparan yang melanda Gaza adalah hasil dari kebijakan sistematis Israel yang menjadikan pangan sebagai senjata perang.
Sejak awal serangan brutal dilancarkan, akses terhadap makanan, air bersih, dan bantuan kemanusiaan diblokir atau dibatasi secara ketat. Truk-truk bantuan dibiarkan menumpuk di perbatasan, sementara perut anak-anak kempis dan ibu-ibu kehabisan akal untuk memberi makan bayi mereka.
Ini adalah kejahatan perang yang berlangsung di depan mata dunia. Anak kecil yang menangis itu mewakili jutaan suara yang tak terdengar.
Ia tidak tahu apa itu embargo, tidak paham apa itu geopolitik, dan tak mengenal istilah “normalisasi.” Yang ia tahu hanya satu hal: ia lapar, dan tak ada yang bisa menjawab kapan makanan itu datang. Kesengajaan Israel menggunakan kelaparan sebagai alat tekanan bukan hanya menunjukkan kekejaman militer, tetapi juga mencerminkan kehancuran moral yang tak termaafkan.
Penderitaan di Gaza tak lagi bisa dipahami sebagai efek samping konflik. Ia adalah bagian dari strategi yang dirancang untuk mematahkan semangat hidup, menundukkan perlawanan, dan memadamkan harapan.
Dalam logika penjajah, jika peluru tak cukup untuk menundukkan rakyat Gaza, maka rasa lapar akan menyelesaikan sisanya. Namun sejarah berkali-kali membuktikan bahwa bahkan dalam kondisi paling gelap, Gaza tidak pernah menyerah.
Yang paling menyakitkan adalah diamnya dunia. Ketika seorang anak di Eropa menangis karena kelelahan, dunia bersimpati.
Tapi ketika seorang anak Palestina menangis karena kelaparan, dunia memilih membungkam berita atau membungkusnya dalam narasi netral. Padahal tak ada yang netral dari membiarkan anak-anak mati perlahan karena kekurangan gizi.
Ini bukan konflik dua pihak, ini adalah pembantaian sepihak yang berlangsung setiap hari. Gaza tidak kekurangan kehendak untuk hidup, tapi dunia kekurangan keberanian untuk bersuara.
Setiap tetes air mata anak yang kelaparan adalah dakwaan terhadap keheningan global. Tangisan mereka bukan hanya ratapan pilu, tapi jeritan yang seharusnya mengguncang hati setiap insan yang masih memiliki rasa kemanusiaan.
Namun sayangnya, terlalu banyak yang memilih lupa, sibuk dengan kepentingan, atau takut kehilangan posisi. Dan sementara dunia menutup telinga, anak-anak Gaza terus berdiri di antrian makanan yang tak kunjung tiba.
Mereka tidak minta banyak. Hanya sepotong roti.
Hanya seteguk air. Hanya sedikit keadilan.
Tapi di tengah kekuasaan yang kejam dan dunia yang apatis, bahkan hak paling dasar pun terasa terlalu mewah. Tangisan anak itu pun terus mengalir, menjadi saksi bisu atas kebiadaban yang didiamkan.