NULL

Kemunduran Hauzah dan Ancaman Fanatisme Buta

Posted 1 day 19 hours ago

Di Madrasah Faidhiyah, pengalaman tragis Imam Khomeini menjadi simbol dari konflik lama antara pemikiran bebas dan konservatisme keagamaan. Ketika putra kecilnya, Mustafa, minum air dari kendi dan kemudian kendi itu dianggap najis hanya karena ayahnya mengajarkan filsafat, kita melihat cerminan nyata bagaimana pemikiran bisa dicap najis oleh fanatisme.

Insiden ini tidak hanya menyayat hati seorang ayah, tetapi mencerminkan kegelisahan mendalam tentang masa depan institusi keilmuan Islam yang seharusnya menjadi pusat pencerahan, bukan kegelapan. Fenomena ini bukan hanya soal perbedaan pendapat dalam tafsir atau pemikiran keagamaan, tapi lebih jauh: tentang ketakutan yang dibungkus kesalehan, yang menjadikan ilmu sebagai ancaman.

Filsafat, sebagai cabang ilmu yang menuntut akal bekerja, sering kali dianggap musuh oleh kelompok yang lebih mementingkan hafalan daripada pemahaman. Ketika kendi pun dicuci karena “najis filsafat”, itu bukan lagi persoalan fiqih, tapi simbol matinya kebebasan berpikir di lingkungan yang seharusnya paling terbuka terhadap ilmu.

Imam Khomeini sendiri adalah simbol paradoks dalam sejarah keislaman kontemporer. Di satu sisi, beliau adalah tokoh revolusioner yang mengguncang tatanan global dan membangkitkan ruhaniyah dalam dimensi politik.

Namun di sisi lain, ia pun adalah korban dari sistem keilmuan yang kerap terperangkap dalam tradisi tanpa refleksi. Maka, kutipannya tentang kemungkinan hauzah berakhir seperti gereja-gereja Abad Pertengahan bukanlah peringatan kosong, melainkan jeritan dari seseorang yang telah menyaksikan sendiri kekakuan itu dari dekat.

Hauzah, sebagai lembaga yang diwariskan sejak berabad-abad lalu, punya tanggung jawab besar untuk menjaga nyala ilmu dan pemikiran. Namun jika ia dikuasai oleh ketakutan terhadap ilmu modern, filsafat, dan pendekatan rasional, maka nasibnya bisa benar-benar menyedihkan.

Ia akan menjadi museum dogma, bukan pusat kehidupan intelektual. Sama seperti gereja di Abad Pertengahan yang menganiaya Galileo, hauzah pun bisa menyingkirkan siapa pun yang mencoba berpikir.

Sebaliknya, ajaran Imam Khomeini justru menunjukkan bahwa revolusi ruhani dan perubahan sosial hanya bisa terjadi bila akal dan wahyu berjalan bersama. Fakta bahwa namanya disebut lebih dari 150.000 kali dalam 80.000 wasiat para syuhada menunjukkan bahwa ajarannya menyentuh bukan hanya emosi, tetapi membentuk kesadaran dan keberanian kolektif.

Ini bukan sekadar kultus terhadap pribadi, tetapi penghormatan pada jalan berpikir dan bertindak yang ia tawarkan: Mazhab jalan Khomeini. Namun, kita harus berhati-hati agar mazhab ini tidak dikerangkeng menjadi sekadar slogan.

Mazhab jalan Khomeini adalah ajakan untuk keberanian berpikir, untuk membuka ruang bagi filsafat, dan tidak tunduk pada tirani intelektual. Bila semangat ini dikhianati oleh ketakutan terhadap ilmu, maka bahkan nama besar seperti Khomeini pun akan dipakai untuk melestarikan kebekuan.

Dalam situasi dunia Islam saat ini, pertarungan antara cahaya dan kegelapan tidak terjadi di medan perang semata, tetapi juga dalam ruang-ruang belajar, madrasah, dan seminar keagamaan. Jika kita ingin agar hauzah tetap relevan dan menjadi penopang kebangkitan umat, maka keberanian seperti yang ditunjukkan Khomeini perlu ditumbuhkan kembali.

Kendi yang dianggap najis itu harus kita jadikan pelajaran: bahwa ketika akal dicurigai, maka masa depan umat menjadi suram.