Imam Khomeini dan Kegelisahan Barat Menurut Seorang Filosof Yahudi
Pernyataan seorang profesor Yahudi-Amerika dalam sebuah wawancara televisi Australia telah memicu perhatian luas, terutama di kalangan yang tertarik pada dinamika politik global dan kekuatan spiritual Timur Tengah. Saat ditanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di kawasan Timur Tengah, jawabannya bukan sekadar analisis geopolitik biasa.
Ia menyampaikan sebuah refleksi panjang tentang dominasi Barat selama tiga abad atas dunia, yang dijalankan lewat dua alat utama: uang dan senjata. Namun, segalanya berubah ketika pada tahun 1979 muncul satu tokoh yang "aneh" bagi pandangan mereka—Imam Khomeini.
Profesor itu menjelaskan bahwa dunia Barat telah terbiasa mengatur narasi dan menguasai arah peradaban global. Siapa pun yang tidak patuh bisa dibujuk dengan kekayaan atau diancam dengan kekuatan militer.
Tetapi Khomeini adalah anomali yang tak terduga. Ia datang dengan aura yang tak bisa ditaklukkan oleh bujukan material atau gertakan senjata.
Keanehan Khomeini, menurutnya, justru terletak pada keteguhan prinsip dan keberanian spiritual yang tak bisa dibeli. Inilah yang membuatnya berbeda dan membahayakan dalam kacamata kekuasaan Barat.
Apa yang membuat pengakuan ini begitu mengguncang adalah pengakuan bahwa Tuhan, dalam pandangan si profesor, tampak berpihak kepada Khomeini. Ini bukan pernyataan yang biasa keluar dari mulut seorang akademisi sekuler, apalagi dari seorang Yahudi.
Ia bahkan menyebut bahwa kemenangan Khomeini mengacaukan keseimbangan kekuasaan dunia, dan bahwa “Tuhan mengecewakan kita” dengan berpihak pada pihak yang dianggap lemah oleh peradaban Barat. Ini mencerminkan betapa besar efek spiritual dan politik yang ditimbulkan oleh Revolusi Islam Iran.
Revolusi 1979 bukan hanya peristiwa politik semata, tapi pergeseran paradigma global. Seorang tokoh dengan jubah dan sorban, yang berbicara dari podium sederhana di Qom atau Tehran, bisa mengguncang kepercayaan diri kekuatan global.
Dalam kacamata Barat, ini bukan sekadar perubahan kekuasaan di Iran, tetapi pembangkangan terhadap seluruh tatanan global yang telah mereka bangun. Ketika seorang filosof Yahudi mengakui betapa dalamnya pengaruh Khomeini, kita melihat bahwa yang sedang mereka hadapi bukan hanya seorang tokoh agama, melainkan sebuah gerakan kesadaran kolektif.
Imam Khomeini memang bukan tokoh biasa. Ia bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga revolusioner yang membawa spiritualitas ke jantung politik.
Baginya, Tuhan bukan hanya objek ibadah, tetapi realitas hidup yang aktif menyertai perjuangan. Maka tidak heran jika ia tidak terpengaruh oleh rayuan kekuasaan duniawi.
Dan justru karena itu, ia menjadi figur yang membuat dunia Barat gelisah: sebab semua metode dominasi mereka gagal total terhadapnya. Pengakuan bahwa Tuhan mendampingi Khomeini adalah puncak dari kekalahan psikologis Barat terhadap fenomena revolusi Islam.
Ini bukan sekadar kekalahan militer atau diplomatik, melainkan kekalahan dalam makna dan tujuan. Khomeini tidak memimpin dengan kekuatan ekonomi atau teknologi, melainkan dengan keyakinan dan akhlak.
Dan itulah yang membuat pengaruhnya bertahan jauh melampaui batas geografis Iran. Dalam dunia yang semakin materialistis dan pragmatis, kehadiran figur seperti Khomeini mengingatkan bahwa ada kekuatan di luar logika kekuasaan konvensional.
Kekuatan spiritual, yang lahir dari keikhlasan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan, bisa menggeser tatanan dunia. Pernyataan profesor Yahudi ini menjadi saksi zaman bahwa ketika seorang pemimpin benar-benar menyerahkan urusannya kepada Tuhan, ia bisa mengubah sejarah—meskipun seluruh dunia menentangnya.