Palestina Adalah Wasiat Imam: Seruan Jihad dan Dukungan Umat
Imam Khomeini, pemimpin revolusi Islam yang namanya melampaui batas negara, telah jauh hari menyerukan pentingnya perjuangan untuk membela Palestina. Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan pada 11 Oktober 1968, beliau menegaskan bahwa membela Palestina bukan hanya sebuah solidaritas politik semata, melainkan bentuk kewajiban suci bagi setiap Muslim.
Palestina adalah wasiat, amanah, dan panggilan iman. Di tengah derasnya arus propaganda yang ingin menenggelamkan isu Palestina dari kesadaran umat, seruan Imam ini menjadi cahaya yang tak pernah padam.
Imam Khomeini tidak berbicara dari ruang kosong. Ia memahami bahwa tragedi Palestina adalah luka kolektif umat Islam yang belum juga sembuh.
Ketika darah anak-anak dan wanita ditumpahkan di jalan-jalan Gaza, ketika rumah-rumah hancur oleh rudal dan peluru penjajah, dunia tidak bisa lagi berpaling. "Tiada jalan lain kecuali melanjutkan jihad," ujar beliau dengan nada tegas yang mengguncang kesadaran.
Kalimat itu bukan hanya seruan perang fisik, tetapi juga panggilan untuk membela keadilan dalam segala bentuknya—melalui harta, doa, suara, dan solidaritas nyata. Kewajiban untuk memberikan dukungan, baik materiil maupun moril, bukanlah opsi, tapi keharusan.
Ini bukan sekadar soal donasi atau orasi di media sosial. Ini soal menempatkan penderitaan rakyat Palestina di tengah kesadaran hidup kita sehari-hari.
Setiap Muslim, di mana pun berada, memikul tanggung jawab yang sama untuk tidak membiarkan kezaliman terus berlangsung tanpa perlawanan. Imam Khomeini menanamkan bahwa diam dalam kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam itu sendiri.
Pertempuran di Palestina bukan hanya konflik lokal antara dua bangsa, melainkan pertempuran global antara kezaliman dan keadilan, antara penjajahan dan kebebasan. Dalam kaca mata Imam Khomeini, pertempuran ini adalah bentuk jihad yang suci, jihad yang tidak akan pernah kehilangan legitimasi selama tanah Palestina masih diinjak-injak oleh penjajah.
Ia melihat pertarungan ini sebagai ujian keimanan umat Islam—apakah kita rela melihat tanah suci al-Quds dinistakan tanpa bangkit membela? Pernyataan Imam itu juga mengandung harapan.
"Demi Allah, kehendak ini akan mendapat pertolongan-Nya," begitu beliau menutup seruannya. Sebuah keyakinan yang teguh bahwa perjuangan yang berada di jalan kebenaran tidak akan pernah sia-sia.
Keyakinan ini bukan sekadar optimisme kosong, tapi fondasi spiritual yang menjadi bahan bakar bagi generasi pejuang, dari Lebanon hingga Gaza, dari Teheran hingga Jakarta. Setiap langkah kecil dalam mendukung Palestina, dalam pandangan ini, terhitung sebagai bagian dari kemenangan besar umat Islam.
Kini, lebih dari lima dekade setelah seruan itu, kondisi Palestina masih dibalut darah dan air mata. Namun pesan Imam tetap hidup.
Ia bergema dalam hati para mujahid, dalam doa anak-anak di kamp pengungsian, dalam poster-poster perlawanan, dan dalam semangat jutaan manusia yang menolak lupa. Wasiat itu bukan tinggalan masa lalu, melainkan suara masa kini yang harus terus diperjuangkan dan dijaga agar tak padam.
Dunia mungkin berubah, kekuatan mungkin berganti, tetapi suara Imam Khomeini tentang Palestina tetap relevan dan menginspirasi. Ia tidak menawarkan romantisme kosong, tetapi jalan terang yang penuh pengorbanan dan keteguhan.
Palestina bukan hanya isu geopolitik; ia adalah cermin nurani umat. Dan selama umat Islam masih menaruh iman pada keadilan dan harga diri, seruan Imam itu akan tetap menjadi kompas dalam badai zaman.