Pelayat Irak Injak Bendera AS dan Zionis di Husseiniyah
Di tengah suasana duka dan refleksi spiritual yang mendalam selama bulan Muharram, berbagai Husseiniyah di Irak menjadi saksi bisu perlawanan simbolik terhadap kezaliman global. Di tempat-tempat berkabung itu, para pelayat yang mengenang pengorbanan Imam Husain a.s.
menunjukkan ekspresi keberpihakan mereka pada kaum tertindas dengan cara yang tidak biasa: mereka menginjak-injak bendera Amerika Serikat dan rezim Zionis. Aksi ini bukan sekadar bentuk emosi sesaat, tetapi mencerminkan kesadaran politik dan keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan yang diperjuangkan oleh cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Tradisi berkabung atas wafatnya Imam Husain di Karbala tidak hanya menjadi momen perenungan spiritual, tetapi juga momentum membangkitkan kesadaran kolektif umat terhadap realitas dunia kontemporer. Di Irak, negeri yang telah lama menjadi arena pertarungan geopolitik, simbol-simbol imperialisme Barat dan penjajahan Zionis menjadi sasaran penolakan keras dari rakyatnya.
Bendera kedua entitas itu ditempatkan di lantai pintu masuk Husseiniyah, lalu diinjak secara massal oleh para peziarah yang hadir. Tindakan ini sarat dengan pesan simbolik: tidak ada tempat untuk penjajahan dan arogansi global di tanah para syuhada.
Bagi banyak pelayat, tindakan menginjak bendera bukanlah sekadar aksi teatrikal, tetapi sebuah bentuk perlawanan moral. Mereka memandang Amerika dan Israel sebagai simbol kezaliman yang menindas umat Islam di berbagai penjuru dunia, terutama di Palestina.
Oleh karena itu, penghinaan terhadap simbol-simbol negara tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina dan bangsa-bangsa lain yang tertindas akibat hegemoni global. Sikap ini sejalan dengan semangat revolusioner Imam Husain, yang menolak tunduk kepada kekuasaan zalim sekalipun harus mengorbankan nyawa.
Tak dapat dipungkiri, aksi-aksi semacam ini kerap menuai kontroversi dan reaksi dari pihak luar. Namun di mata para pelayat, keberanian Imam Husain dalam menghadapi tirani menjadi inspirasi utama yang melampaui batasan diplomatik maupun rasa takut akan represi.
Di dalam kerangka nilai-nilai Islam, terutama Syiah, tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar—menyeru kepada kebaikan dan mencegah kezaliman—yang diwujudkan dalam bahasa simbolik dan kolektif. Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana ajaran agama, jika dipadukan dengan kesadaran politik, mampu melahirkan gelombang perlawanan yang kuat.
Husseiniyah tak lagi hanya menjadi tempat berkabung pasif, tetapi juga wadah penyadaran umat dan penyebaran narasi perlawanan. Dalam konteks Irak, hal ini menjadi penting mengingat negara itu telah lama menjadi medan pertarungan pengaruh antara kekuatan besar dunia dan kelompok lokal yang berusaha mempertahankan martabat dan kedaulatan.
Di sisi lain, aksi menginjak bendera tersebut juga menunjukkan bagaimana simbol-simbol dapat digunakan untuk membentuk narasi perlawanan. Bendera, yang sejatinya adalah lambang kedaulatan, bisa menjadi representasi kezaliman jika dipersepsikan demikian oleh rakyat.
Di Irak, persepsi ini sudah terbentuk kuat, terutama pasca invasi Amerika pada 2003 dan dukungan terang-terangan Israel terhadap agresi di Palestina. Dalam konteks itu, menginjak bendera adalah cara masyarakat menunjukkan bahwa mereka tidak melupakan sejarah luka dan penindasan yang pernah, dan masih, mereka alami.
Akhirnya, aksi simbolik yang terjadi di banyak Husseiniyah di Irak merupakan cerminan perlawanan yang lahir dari nilai spiritual dan sejarah perlawanan itu sendiri. Di tengah dunia yang terus bergolak dan diwarnai ketimpangan global, pelajaran dari Karbala tetap relevan: menolak tunduk pada kezaliman, sekecil apa pun bentuknya.
Dan selama ada orang-orang yang meneladani keberanian Husain, perlawanan terhadap tirani, baik dalam bentuk simbolik maupun nyata, akan terus menyala.