Runtuhnya Pertahanan Udara Israel di Hadapan Serangan Rudal Iran
Serangan balasan Iran terhadap rezim Zionis menandai babak baru dalam konfrontasi militer yang selama ini hanya terjadi di level proksi dan serangan terbatas. Dalam peristiwa yang disebut sebagai “riwayat al-Fath”, pasukan bersenjata Iran berhasil menembus sistem pertahanan udara Israel yang selama ini dianggap paling canggih dan berlapis di kawasan Timur Tengah.
Serangan tersebut tidak hanya mengenai wilayah sipil, tetapi juga melumpuhkan beberapa fasilitas militer strategis, menjadikan ini sebagai momen genting bagi keamanan nasional Israel. Dilaporkan bahwa berbagai rudal presisi tinggi dan senjata jarak jauh milik Iran digunakan dalam serangan tersebut, menghantam banyak titik sensitif yang sebelumnya diyakini tak tersentuh oleh sistem pertahanan seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow.
Keberhasilan ini mengejutkan para pengamat militer global karena menunjukkan bahwa teknologi militer Israel ternyata dapat ditembus jika dihadapkan pada volume dan kecanggihan serangan simultan yang masif. Pemimpin Tertinggi Iran, Imam Sayyid Ali Khamenei, dalam pernyataannya pada 26 Juni 2025, menyebut peristiwa ini sebagai salah satu “nikmat ilahi terbesar” yang dikaruniakan kepada bangsa Iran.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan menembus pertahanan Israel adalah bukti nyata bahwa setiap bentuk agresi terhadap Republik Islam Iran akan dibalas dengan harga yang sangat mahal. Pesan ini ditujukan langsung kepada rezim Zionis dan sekutunya, bahwa keseimbangan kekuatan regional tidak lagi didominasi secara sepihak.
Runtuhnya sistem pertahanan Israel ini juga menjadi preseden bagi banyak negara di kawasan yang selama ini ragu akan kemampuan Iran dalam menghadapi kekuatan militer konvensional seperti milik Israel. Serangan ini menunjukkan bahwa Iran bukan hanya mampu menahan serangan, tetapi juga dapat melakukan pukulan balik yang terorganisir dan sangat merusak.
Banyak analis menyebut peristiwa ini sebagai titik balik dalam doktrin pertahanan Timur Tengah. Respons internasional pun bermunculan.
Sebagian pihak menyerukan deeskalasi agar konflik tidak meluas menjadi perang terbuka regional, sementara yang lain justru melihatnya sebagai pembuktian bahwa pendekatan tekanan maksimal terhadap Iran justru memicu respons militer yang lebih berbahaya. Serangan ini juga menjadi pukulan besar bagi intelijen Barat yang selama ini menganggap sistem pertahanan Israel nyaris kebal terhadap ancaman dari luar.
Dalam konteks psikologis, serangan ini memberikan semangat baru bagi rakyat dan pasukan Iran, serta memperkuat narasi resistensi terhadap dominasi asing. Pemerintah Iran menegaskan bahwa kekuatan mereka tidak hanya bersifat defensif, melainkan mampu menyerang secara presisi bila diperlukan.
Ini menjadi sinyal kuat bahwa Iran telah mencapai fase deterensi aktif, di mana kekuatannya cukup untuk mencegah musuh menyerang terlebih dahulu. Kini, dengan dunia menyaksikan perubahan besar dalam konstelasi militer regional, banyak yang menantikan bagaimana Israel akan merespons pukulan telak ini.
Apakah akan memilih jalur eskalasi militer atau membuka ruang diplomasi yang lebih realistis, semuanya tergantung pada sejauh mana mereka mengakui realitas baru: bahwa Iran telah menjadi kekuatan militer penuh yang tak bisa lagi dipandang remeh.