NULL

Dari Irak ke PBB: Ironi Wajah Asli Barat di Panggung Dunia

Posted 2 days 19 hours ago

Dunia internasional kembali disuguhkan potret ironi yang mencolok dari dinamika politik global. Rouhi Kais, analis dari saluran Zionis Kan, melaporkan bahwa Presiden Suriah, Ahmad al-Shara’, akan melakukan kunjungan resmi ke Amerika Serikat pada bulan September mendatang.

Kunjungan ini menjadi momen bersejarah karena al-Shara’ dijadwalkan menyampaikan pidato di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadikannya presiden Suriah pertama dalam enam dekade terakhir yang hadir secara langsung di forum tertinggi diplomasi dunia tersebut. Kehadiran Ahmad al-Shara’ di forum PBB tak hanya bermakna simbolik secara politik, tetapi juga menimbulkan perdebatan moral dan etis yang cukup tajam.

Banyak pihak menilai bahwa dunia Barat, khususnya AS dan sekutunya, sekali lagi menunjukkan standar ganda dalam menilai siapa yang pantas diberi panggung. Bagaimana mungkin seorang kepala negara yang memimpin dalam bayang-bayang konflik berdarah di negerinya, dan diduga terlibat dalam kebijakan represif, kini justru mendapat tempat terhormat di forum internasional yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia?

Situasi ini mengingatkan publik akan berbagai peristiwa tragis yang pernah berlangsung di Timur Tengah, termasuk pembantaian massal di Irak yang terjadi di bawah pengawasan kekuatan Barat. Dalam kasus Irak, jutaan nyawa melayang, infrastruktur hancur, dan stabilitas kawasan runtuh, tetapi para pelakunya tak pernah diadili secara tuntas.

Justru, banyak dari mereka yang kini tetap duduk nyaman dalam lingkaran elit global, bahkan menjadi pembentuk narasi resmi atas apa yang disebut “perdamaian” dan “keamanan dunia.” Dalam konteks ini, pidato al-Shara’ menjadi simbol ironi besar: di satu sisi para korban perang, baik di Suriah, Irak, maupun Palestina, terus berjuang agar suara mereka diakui dan didengar; di sisi lain, para pemimpin yang terkait dengan kekerasan dan penindasan justru diberi ruang bicara atas nama diplomasi.

Hal ini memperkuat anggapan bahwa sistem global yang ada bukan dibangun atas dasar keadilan, melainkan kepentingan geopolitik yang kerap membungkam suara-suara lemah dan memperkuat dominasi pihak kuat. Keputusan untuk memberi podium kepada al-Shara’ di PBB dinilai sebagai bentuk pembenaran simbolik terhadap rezim yang dianggap problematik oleh sebagian besar pengamat hak asasi manusia.

Dunia seperti mengabaikan kenyataan bahwa selama bertahun-tahun, rakyat Suriah hidup dalam bayang-bayang perang, penindasan, dan krisis kemanusiaan yang parah. Jika panggung diplomasi internasional tidak lagi mencerminkan nurani moral, lalu kepada siapa korban harus berharap untuk mendapat keadilan?

Komentar publik menyebut momen ini sebagai “sebuah ironi besar”—bukan hanya karena siapa yang berbicara, tetapi karena siapa yang tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Para korban perang, pengungsi, keluarga yang kehilangan anak-anaknya, semua tetap dibungkam oleh sistem yang hanya mendengar pihak-pihak yang punya akses kekuasaan dan legitimasi politik.

Inilah wajah asli dari tatanan dunia yang seringkali diglorifikasi sebagai adil dan beradab, padahal di baliknya tersembunyi luka-luka yang belum pernah benar-benar disembuhkan. Panggung PBB, yang seharusnya menjadi ruang bagi semua suara, kini kian jauh dari realitas itu.

Ia semakin menyerupai panggung sandiwara, tempat para elite dunia menampilkan peran diplomatik sambil menyembunyikan sejarah kelam mereka. Kunjungan Ahmad al-Shara’ menjadi bukti bahwa sistem internasional lebih peduli pada simbolisme politik ketimbang perjuangan rakyat yang sesungguhnya.

Dan selama suara para korban tetap dikubur dalam diam, dunia akan terus berjalan dalam kebohongan yang dipoles rapi atas nama perdamaian.